Judul : Personality Plus
Penulis : Florence Littauer
Penulis : Florence Littauer
Buku ini bagus.
Kamu akan temukan ke-bagus-an buku ini setelah membaca dengan
sabar semua penjabaran di dalamnya. Yang awalnya kamu akan berkata, “Saya
orangnya kayak gimana sih?” dan akhirnya kamu bisa berkata, “Ternyata saya
orang yang begini!” atau “Wah, ini saya banget!”
Kenapa harus sabar?
Karena buku ini super membosankan. Kalau dibandingkan dengan
bukunya Mbak Monica Anggen yang judulnya “Jangan Kebanyakan Teori Deh!” atau
“Yakin Selamanya Mau di Pojokan?” atau buku-buku seri pengembangan diri karya
penulis Indonesia, buku ini gak ada apa-apanya.
Isinya full tulisan, jangan harap ada ilustrasi sebagai pemanis di sini, ya kalaupun ada bagan, menurut saya sama sekali tidak menarik.
Sebagai perbandingan, coba perhatikan dua foto di bawah ini ya.
Isinya full tulisan, jangan harap ada ilustrasi sebagai pemanis di sini, ya kalaupun ada bagan, menurut saya sama sekali tidak menarik.
Sebagai perbandingan, coba perhatikan dua foto di bawah ini ya.
Penampakan ilustrasi di buku YSMP-nya Monica Anggen |
Mungkin karena ini buku terjemahan, jadi modelnya juga dibuat
mengikuti style orang luar sana. Tulisan kicik-kicik, rapat, dan ukuran bukunya
lumayan tebal. Tapi plusnya, buku ini gampang dibawa kemana-mana.
Satu lagi, harganya juga murah. Saya cek harga di Tokopedia, sekarang ini harganya kisaran 20.000 – 35.000.
Satu lagi, harganya juga murah. Saya cek harga di Tokopedia, sekarang ini harganya kisaran 20.000 – 35.000.
**
Sodara-sodaraku yang baik budinya, membicarakan diri sendiri itu memang menyenangkan.
Saya orangnya begini, saya orangnya begitu, saya suka ini, saya tidak suka itu.
Ya kan? Ya kan?
Nah daripada kamu membuat temanmu jengkel dengan terus-terusan
membicarakan dirimu, lebih baik kamu luangkan waktu untuk membaca buku ini.
Karena buku ini benar-benar membicarakan dirimu. Semua baik burukmu tersusun rapi di sini. Seolah-olah dia tahu betul tentang dirimu melebihi dirimu sendiri.
Karena buku ini benar-benar membicarakan dirimu. Semua baik burukmu tersusun rapi di sini. Seolah-olah dia tahu betul tentang dirimu melebihi dirimu sendiri.
Saya gak jamin kalau setelah baca buku ini, kamu akan langsung
tahu siapa dirimu sebenarnya. Saya sendiri perlu baca berulang-ulang sampai
akhirnya bisa bergumam, “Ternyata, tipe kepribadian saya ini toh.”
Tapi sodaraku yang banyak duitnya, nikmatilah proses membaca buku ini. Jangan terburu-buru ya, jangan tergesa-gesa. Santai saja.
Tapi sodaraku yang banyak duitnya, nikmatilah proses membaca buku ini. Jangan terburu-buru ya, jangan tergesa-gesa. Santai saja.
Dalam Personality Plus ini, Florence Littauer memakai empat macam
tipe kepribadian, yaitu Sanguinis yang Populer, Koleris yang Kuat, Melankolis
yang Sempurna, dan Plegmatis yang Damai. Saya yakin sebagian besar kita sudah
tahu tipe-tipe kepribadian ini. Kalau belum tahu bisa baca-baca di sini, okeh?
Selain
itu, Littauer juga menyediakan Uji Profil Kepribadian (UPK) yang menentukan tipe
kepribadian kamu di pembukaan buku ini. UPK ini berisi pilihan-pilihan kekuatan
dan kelemahan yang paling sesuai dengan kita. Littauer juga menekankan agar
kita memposisikan diri kita saat kita masih kecil saat mengerjakan UPK.
Tapi,
kalau kamu susah untuk menentukan, coba minta bantuan saudara, orang tua, atau
temanmu yang kenal kamu dari kecil.
Kenapa
dari kecil? Karena masa kanak-kanak itu adalah masa-masa dimana karakter kita
masih murni. Diri kita masih apa adanya, belum ada tekanan dari lingkungan,
orang tua, teman, belum ada pencitraan, dan sebagainya.
Jadi,
setelah dapat hasil dari UPK, kamu bisa langsung baca penjelasan tentang tipe
kepribadianmu. Serius, saya suka banget penjabaran Littauer di sini. Seperti
yang saya katakan di awal, semua baik burukmu
tersusun rapi di sini.
**
Pertama
kali saya mengerjakan UPK ini sekitar 5 atau 6 tahun lalu, dan hasilnya saya
adalah seorang Plegmatis yang Damai.
Kala itu, saya mengabaikan petunjuk bahwa saat mengerjakan UPK, harus membayangkan kita menjadi anak-anak kembali. Saya memilih semuanya sesuai dengan kondisi saya saat itu atau mentok mentok ngebayanginnya pas saya SMA. Pikir saya setiap manusia pasti berubah, gak mungkin sama dengan dirinya di masa kecil.
Kemudian, saya menjalani kehidupan saya sebagai seorang Plegmatis yang Damai. Saya melestarikan pribadi Plegmatis yang tenang, santai, suka mengalah, menghindari konflik dan sebagainya dalam diri saya.
Ya meskipun tidak menjadi plegmatis yang damai secara sempurna (karena aslinya saya bukan plegma), bisa dibilang sikap seorang plegmatis benar-benar mendominasi karakter saya.
Kala itu, saya mengabaikan petunjuk bahwa saat mengerjakan UPK, harus membayangkan kita menjadi anak-anak kembali. Saya memilih semuanya sesuai dengan kondisi saya saat itu atau mentok mentok ngebayanginnya pas saya SMA. Pikir saya setiap manusia pasti berubah, gak mungkin sama dengan dirinya di masa kecil.
Kemudian, saya menjalani kehidupan saya sebagai seorang Plegmatis yang Damai. Saya melestarikan pribadi Plegmatis yang tenang, santai, suka mengalah, menghindari konflik dan sebagainya dalam diri saya.
Ya meskipun tidak menjadi plegmatis yang damai secara sempurna (karena aslinya saya bukan plegma), bisa dibilang sikap seorang plegmatis benar-benar mendominasi karakter saya.
Seorang
mantan atasan saya (semoga Allah rahmati beliau) pernah berkata, kalau saya bagus di bidang administrasi dan
keuangan dengan menyebutkan beberapa kualitas yang harus ada pada seorang yang
pengelola bagian tersebut. FYI, seorang plegmatis punya kemampuan yang baik dalam mengurus administrasi lho!
Ditambah lagi wajah saya yang minim ekspresi, tidak terlihat emosional, dingin, kejam, dan tegas, semakin mengukuhkan saya sebagai, “The Right Person in the Right Place” di matanya.
Ditambah lagi wajah saya yang minim ekspresi, tidak terlihat emosional, dingin, kejam, dan tegas, semakin mengukuhkan saya sebagai, “The Right Person in the Right Place” di matanya.
Maka
jadilah selama bertahun-tahun, meskipun saya ditugaskan sebagai
guru, saya tetap ditempatkan di bagian adm dan keuangan.
Saya senang mendapat pengakuan begitu, saya merasa bahwa kinerja saya selama ini cukup baik di mata beliau. Tetapi ada yang mengganjal di pikiran saya.
Jika saya benar-benar baik di bidang ini, mengapa setiap selesai rekap pembukuan keuangan sekolah atau usai mengerjakan tugas administratif lainnya, saya langsung jatuh sakit?
Macam sakit kepala, demam, atau seringan-ringannya saya tidur berjam-jam nonstop saat tiba di rumah. Mengapa ada perasaan tidak senang menjalaninya?
Dan sekarang saya yakin, seseorang bisa melakukan sesuatu yang 'bukan dirinya banget' dengan hasil yang cukup bagus, asalkan dia sungguh-sungguh.
Kenapa?
Karena saya pun begitu. Semuanya dilakukan sebaik mungkin untuk memenuhi tuntutan pekerjaan.
Saya senang mendapat pengakuan begitu, saya merasa bahwa kinerja saya selama ini cukup baik di mata beliau. Tetapi ada yang mengganjal di pikiran saya.
Jika saya benar-benar baik di bidang ini, mengapa setiap selesai rekap pembukuan keuangan sekolah atau usai mengerjakan tugas administratif lainnya, saya langsung jatuh sakit?
Macam sakit kepala, demam, atau seringan-ringannya saya tidur berjam-jam nonstop saat tiba di rumah. Mengapa ada perasaan tidak senang menjalaninya?
Dan sekarang saya yakin, seseorang bisa melakukan sesuatu yang 'bukan dirinya banget' dengan hasil yang cukup bagus, asalkan dia sungguh-sungguh.
Kenapa?
Karena saya pun begitu. Semuanya dilakukan sebaik mungkin untuk memenuhi tuntutan pekerjaan.
Nah lain halnya ketika saya sedang mengajar, bertemu banyak orang, bercanda haha hihi
dengan siswa. Ada kebahagiaan tersendiri bagi saya, rasanya seperti satwa yang
dikembalikan ke habitatnya. Bebas. Rasanya kayak mau bilang, "Ini lho duniaku!" Saat-saat sedang bad mood, bertemu dengan mereka membuat suasana hati saya membaik.
Ya bukannya tidak bersyukur atas nikmat bisa bekerja yang telah Allah berikan, hanya saja sakit-sakit, perasaan tertekan, sesak dan tidak bahagia itu membuat saya menyadari bahwa ada yang salah dengan diri dan pekerjaan saya. Hingga akhirnya saya berkesimpulan bahwa saya tidak cocok bekerja di belakang meja.
Ya bukannya tidak bersyukur atas nikmat bisa bekerja yang telah Allah berikan, hanya saja sakit-sakit, perasaan tertekan, sesak dan tidak bahagia itu membuat saya menyadari bahwa ada yang salah dengan diri dan pekerjaan saya. Hingga akhirnya saya berkesimpulan bahwa saya tidak cocok bekerja di belakang meja.
Nah,
sampai sini apakah sodara-sodara sekalian bisa memetik seiprit hikmah dari
kisah di atas?
Semoga
bisa ya. Kalau bisa, komen di bawah. Ahay!
**
Kembali
lagi ke Personality Plus. Littauer tidak hanya mendeskripsikan setiap
kepribadian, tetapi juga memberikan saran pengembangan diri terkait kekuatan
dan kelemahan kepribadian.
Ini
penting banget untuk saya, kamu, orang tua, guru, trainer, manager atau
sodara-sodara yang bekerja berhadapan dengan manusia, supaya bisa lebih
memahami diri sendiri dan orang lain. Dan gak ketinggalan, bagaimana cara
menyesuaikan diri dengan orang lain.
Ada banyak saran yang unik, yang gak kepikiran dan sederhana yang bisa kamu aplikasikan dalam keseharianmu.
Gak hanya itu, Littauer pun memberikan pemecahan
masalah agar kelemahan khas bawaan kepribadian bisa diatasi.
Misal...
Pernah gak sih, ada saat
kita salah paham dengan rekan kerja, teman atau keluarga kita sendiri?
Misal
kita gak suka sama rekan kerja kita, yang orangnya berisik banget, ketawanya
udah kayak pake toa masjid, bercanda mulu kerjaannya, sampai-sampai
pekerjaannya sendiri gak ada yang beres?
Kalau kita gak paham soal kepribadian,
mungkin dalam hati kita akan ada rasa kesal, jengkel terhadap rekan kerja kita
ini. Tetapi setelah kita paham bahwa dia adalah seorang Sanguinis, kita justru
bisa membantu dia agar lebih terarah. Tiada konflik di antara kita.
Percaya
deh, semua pertengkaran, perselisihan atau bahkan permusuhan itu tidak perlu
terjadi kalau kita bisa memahami satu sama lain dengan baik. Dan Song
Song Couple tidak perlu bercerai karena alasan perbedaan kepribadian. π«
Ah iya, Littauer juga menyisipkan banyak contoh kasus yang ditanganinya sebelum menulis buku ini. Ada beberapa masalah rumah tangga yang bisa diselesaikan dengan belajar memahami karakter pasangan.
Apakah kalian tidak bisa bersatu kembali, wahai Pak Joong Ki dan Bu Hye Kyo? |
Ah iya, Littauer juga menyisipkan banyak contoh kasus yang ditanganinya sebelum menulis buku ini. Ada beberapa masalah rumah tangga yang bisa diselesaikan dengan belajar memahami karakter pasangan.
**
Ada
satu istilah unik yang dipakai Littauer di buku ini yang menarik perhatian
saya, yakni Topeng Kelestarian. Artinya tanggapan yang dipelajari terhadap rasa
sakit di masa lalu.
Saat membaca penjelasan bagian ini, saya seperti tertampol di ulu hati. Saya baru ngeh, ternyata selama ini saya memakai topeng! Wuuu dasar muka dua π
Hey, tidak semua orang bisa bertahan jadi dirinya sesuai fitrah meskipun banyak penolakan atau hal gak menyenangkan terjadi dalam hidupnya. Setiap orang pasti mencari jalan lain yang membuat dirinya aman, dan diterima lingkungannya. Ya salah satu jalannya dengan pakai topeng kelestarian ini.
Memakai topeng tidaklah buruk, hanya saja jika kamu tidak tahu karakter aslimu, dan kamu memakai topeng ini dalam waktu yang cukup atau bahkan sangat lama. Kamu akan merasakan ada reaksi fisik seperti sakit di badan, atau reaksi batin yang membuatmu merasa tidak bahagia, tertekan dan lebih disayangkan jika kamu tidak jadi dirimu sendiri.
Berikut ini contoh mengapa setiap orang bahkan sejak anak-anak bisa bertopeng. Mohon dibaca ya.
Ada dua anak bernama Rudy dan Rodi.
Rudy sewaktu kecilnya adalah seorang anak yang melankolis yang sempurna. Dia pendiam, sensitif, dan tidak seceria saudaranya yang sanguinis.
Dalam upaya mencari perhatian dari orang tuanya, dia memakai topeng kelestarian sebagai sanguinis yang populer. Sehingga dia merasa, “Jika aku ceria, aku akan diperhatikan Mama.”
Hey, tidak semua orang bisa bertahan jadi dirinya sesuai fitrah meskipun banyak penolakan atau hal gak menyenangkan terjadi dalam hidupnya. Setiap orang pasti mencari jalan lain yang membuat dirinya aman, dan diterima lingkungannya. Ya salah satu jalannya dengan pakai topeng kelestarian ini.
Memakai topeng tidaklah buruk, hanya saja jika kamu tidak tahu karakter aslimu, dan kamu memakai topeng ini dalam waktu yang cukup atau bahkan sangat lama. Kamu akan merasakan ada reaksi fisik seperti sakit di badan, atau reaksi batin yang membuatmu merasa tidak bahagia, tertekan dan lebih disayangkan jika kamu tidak jadi dirimu sendiri.
Berikut ini contoh mengapa setiap orang bahkan sejak anak-anak bisa bertopeng. Mohon dibaca ya.
Ada dua anak bernama Rudy dan Rodi.
Rudy sewaktu kecilnya adalah seorang anak yang melankolis yang sempurna. Dia pendiam, sensitif, dan tidak seceria saudaranya yang sanguinis.
Dalam upaya mencari perhatian dari orang tuanya, dia memakai topeng kelestarian sebagai sanguinis yang populer. Sehingga dia merasa, “Jika aku ceria, aku akan diperhatikan Mama.”
Atau
lain kasus, Rodi yang seorang sanguinis yang populer sering mendapat penolakan
dan perlakuan yang tidak semestinya, menjadi tertekan jiwanya dan memakai
topeng kelestarian watak melankolis sempurna.
Dan dia merasa, “Kalau saja saya sempurna, Papa tidak akan menyakiti saya, dan Mama tidak akan berteriak-teriak pada saya.”
Dan dia merasa, “Kalau saja saya sempurna, Papa tidak akan menyakiti saya, dan Mama tidak akan berteriak-teriak pada saya.”
Aduh,
nyesek saya. Kasian Rudy dan Rodi π’
Bapak,
Ibu yang qadarullah membaca
tulisan ini, tolonglah terima anak antum semua apa adanya. Cintailah mereka
seutuhnya. Bantu mereka agar bisa bangkit, berjuang, berprestasi sebagai
dirinya sendiri π’
Pakai
topeng lama-lama tidak baik untuk kesehatan Pak, Bu.
**
Sepemahaman
saya, di buku ini Littauer menekankan sekali akan pentingnya memahami dan
menerima diri sendiri. Ada banyak orang yang sukses di luar sana, tetapi tidak
bahagia dengan hidupnya. Seperti ada hampa, kosong, anyep-anyep yang tidak
jelas menyelubungi hatinya.
Boleh jadi, dia telah meraih semuanya, tetapi dia kehilangan dirinya sendiri.
Boleh jadi, dia telah meraih semuanya, tetapi dia kehilangan dirinya sendiri.
Untuk
sodara-sodara yang mungkin sedang terombang-ambing, mungkin kutipan di bawah
ini sedikit membantu.
“Orang
yang tidak matang menyalahkan orang tua, temannya, teman hidupnya,
anak-anaknya, keadaannya untuk apa yang menyebabkan mereka tidak menjadi apa
yang mereka harapkan.
Orang
dewasa akan menyelidiki dirinya, menemukan kesalahannya, dan melakukan usaha
untuk memperbaikinya.
Penting
sekali bagi kita untuk meninjau rasa sakit hati dan penolakan di masa
kanak-kanak kita, supaya bisa menemukan mengapa kita berperilaku seperti yang
kita lakukan.
Tetapi penyelidikan ini bukan untuk menempatkan kesalahan. Melainkan untuk mendatangkan suatu pengertian dan menyebabkan kita memulai proses penyembuhan.” (Florence Littauer)
Tetapi penyelidikan ini bukan untuk menempatkan kesalahan. Melainkan untuk mendatangkan suatu pengertian dan menyebabkan kita memulai proses penyembuhan.” (Florence Littauer)
Menemukan
kata penyembuhan dalam kutipan itu membuat saya berpikir kalau
tidak menjadi diri sendiri itu menyakitkan. Berpura-pura itu melelahkan.
Bukankah kalau kita pakai topeng lama-lama akan terasa sesak?
Akhirnya
saya paham kalimat, “Be Your Self,” dengan pemahaman yang utuh. Pun dengan kalimat ajaibnya Tan Malaka, "Terbentur, terbentur, dan terbentuk."
Kita yang sekarang adalah hasil dari terbentur, terbentur dengan semua peristiwa dalam kehidupan kita. Seorang sanguinis yang populer bisa mendapati dalam dirinya ada gabungan dari ke empat tipe kepribadian tersebut. Karena selama ini tanpa ia sadari, ia telah banyak memperbaiki kekurangannya. Ia jadi lebih disiplin seperti melankolis, lebih tegas seperti koleris, dan lebih terorganisir seperti plegmatis.
Sekali lagi saya harus bilang, buku ini bisa cukup membantumu memahami orang lain dengan memahami dirimu sendiri.
Terima kasih Florence atas bukunya yang luar biasa ini π
Kita yang sekarang adalah hasil dari terbentur, terbentur dengan semua peristiwa dalam kehidupan kita. Seorang sanguinis yang populer bisa mendapati dalam dirinya ada gabungan dari ke empat tipe kepribadian tersebut. Karena selama ini tanpa ia sadari, ia telah banyak memperbaiki kekurangannya. Ia jadi lebih disiplin seperti melankolis, lebih tegas seperti koleris, dan lebih terorganisir seperti plegmatis.
Sekali lagi saya harus bilang, buku ini bisa cukup membantumu memahami orang lain dengan memahami dirimu sendiri.
Menemukan diri sendiri tidak kalah menyenangkan dari membicarakan diri sendiri.
Terima kasih Florence atas bukunya yang luar biasa ini π
**
Sodara-sodaraku,
penjelasan soal kepribadian tidak hanya kamu dapatkan dari Personality
Plus ini aja ya, tetapi juga dari banyak literasi lainnya. Atau bisa
dengar penjelasan kocak dari psikolog yang satu ini, linknya ada di sini.
**
Nah,
sampai di sini apa sodara-sodara sekalian berminat mencari lagi jati
diri?
You
decide it. ππ
Terima kasih sudah baca sampai habis.
Kamu hebat! (。・Ο・。)οΎ♡
Terima kasih sudah baca sampai habis.
Kamu hebat! (。・Ο・。)οΎ♡
Comments
Post a Comment