Skip to main content

Pengalaman Ikut Kampus Fiksi DivaPress #KF15 (Part 1)

Sebenarnya saat saya menulis catatan ini, saya sedang dipelototi skripsi yang teronggok di sudut tempat tidur. Tatapannya sinis, dan penuh kekesalan karena merasa tersaingi catatan ini. Tapi apa daya, rasanya kurang syah kalau dalam blog ini tidak ada postingan tentang Kampus Fiksi (KF). Ditambah lagi dengan teman-teman KF yang satu demi satu sudah memposting pengalamannya selama kegiatan ini bikin saya makin terpacu untuk mendahuluan catatan ini di atas skripsi yang ngambek.

Well. Apa itu Kampus Fiksi?


Oke, silakan buka google.com dan masukkan keyword ‘Kampus Fiksi’ di kolom pencarian. Dan dalam hitungan detik, ini kalau internetmu lancar ya, artikel tentang Kampus Fiksi akan berjubelan di layar. Lalu cobalah baca satu, dua atau bahkan 3 postingan berlabel ‘pengalaman’ yang menurutmu menarik.

Eh serius, saya pakai cara ini untuk kulik-kulik soal Kampus Fiksi. .__.v

Pertama kali saya tahu tentang Kampus Fiksi dari ketidaksengajaan saya membaca postingan fanpage penerbit DivaPress tentang seleksi peserta Kampus Fiksi beberapa tahun silam. Awalnya saya tidak berminat, karena;

(1) Saat itu saya pikir kampus fiksi hanya pelatihan menulis biasa, yang paling isi materinya itu itu juga.
(2) Tuntutan pekerjaan. Saya sudah bukan lagi pengangguran friksional, jadi gak bisa pergi lama ƪ( ˘ƪ)
(3) Dana. FYI ongkos kereta dari Planet Bekasi ke Yogya cukup lumayan menguras kantong. Karena saya harus bikin visa ke luar planet dulu :’v

Tapi pada akhirnya, saya luluh juga setelah semakin banyak kabar tentang Kampus Fiksi yang bersliweran di beranda Facebook maupun timeline Twitter saya. Dan mata saya langsung ijo begitu baca keterangan kalau kegiatan ini bersifat GRATIS daaaan ini bagian yang paling saya suka peserta akan diberikan suvenir satu paket buku yang berjumlah 55 buah. ː̗̀( ,)ː̖́

Aaaaak tidaaaak!! (>̯͡<̯͡)
Gak kuat saya! Saya lemah sekali menahan godaan sebesar ini!

Akhirnya saya putuskan mengirim salah satu cerpen terbaik saya ke DivaPress di awal tahun 2015. Singkat cerita, saya lolos seleksi dan masuk dalam angkatan 15.

Sebagai orang yang ditakdirkan lahir dengan golongan darah A, saya langsung membuat berbagai perencanaan keberangkatan dari Bekasi ke Yogyakarta. Ada Plan A, Plan B, dan Plan C. 

Semua ini saya pikirkan matang-matang, mulai dari berapa biaya yang diperlukan selama di sana, tas mana yang mau dipakai, efisiensi tas, berapa baju, pakaian dalam, jilbab yang dibawa, cara packing barang-barang, naik kereta kelas apa, jam berapa. Sampai saya harus cek jadwal keberangkatan kereta setiap hari sebelum akhirnya saya memutuskan untuk berangkat ke Yogya di bawah aturan Plan C. *serius ini serius*

Dan Plan C ini saya jalankan terus sampai hari terakhir saya di Yogya. Berbahagialah kalian yang bisa hidup tanpa perencanaan ekstrim seperti saya. :’3 

29 Januari 2016, jadi hari pertama saya menghirup udara Yogyakarta. Selama 8 jam perjalanan kepala saya dipenuhi pertanyaan yang berkelindan tentang seperti apa kegiatan Kampus Fiksi nanti, seperti apa teman-teman, panitia yang akan saya jumpai di sana. Perut saya jadi mulas gara-gara kebanyakan mikir.

Satu hal yang paling ngena di hati saya saat pertama kali menjejakkan kaki di Stasiun Tugu adalah udaranya yang panas. Ternyata ada kota juga yang bersuhu sama dengan tempat saya berasal. Planet Bekasi. Terima kasih, Tuhan.


Dan semoga saya tidak berlebihan, tapi jujur saat saya sampai, udara Yogya satu tingkat lebih panas daripada Bekasi.


Tiba di Stasiun Tugu pukul 15.15 WIB, hampir pas dengan perkiraan waktu tiba yang tertera di tiket kereta api.  

Turun di jalur 2, dan langsung bergabung dengan penumpang lainnya melintasi jalan keluar dari stasiun yang cuma satu arah. Satu arah, Kawan. Satu arah. Macam jalan ke arah puncak yang pakai sistem buka tutup itu lah!

Akan tetapi, pengaturan jalan keluar ini yang bikin saya terkagum dengan keteraturan yang tercipta di stasiun ini. Daebak!

Saya sempet nyesel nih karena beberapa hari sebelum keberangkatan saya ke Yogya, saya konfirmasi jam kedatangan via SMS ke Mbak Tiwi itu pukul 16.00. Jadi beginilah akhirnya, saya menunggu selama satu jam di Stasiun Tugu bak backpacker hilang arah.


Di tengah-tengah penantian ‘pangeran’ bermobil, saya menyempatkan diri ke Indomaret Point untuk membeli makanan. Tadinya, saya mau beli roti tapi tidak jadi karena saya sudah kadung ngiler lihat onigiri.  

Onigirinya Indomaret
Harganya Rp. 7.500,- waktu itu diskon jadi Rp. 6.500,-

Saya belum pernah makan beginian. Tapi saat nonton drama Korea yang judulnya Cheese in The Trap, dimana tokoh utamanya sering  makan ini. Saya jadi penasaran mau coba juga. Entah benar ini makanan yang Hong Seol makan atau bukan, setidaknya dua makanan ini punya kesamaan bentuk. :v

Ini nih yang dimakan Hong Seol
Soal rasa, ya rasa nasi pakai ayam dan mayonnaise. Manis, asam, gurih-gurih nyoy gimana gitu lah. Pokoknya kenyang setelah makan ini.

Penantian saya berakhir setelah sebuah nomor tak dikenal muncul di display hp saya. Dan begitu saya angkat, kalimat pertama yang terdengar adalah, “Ini dengan Putri Fajri Pratiwi?”

Ah, detik detik selanjutnya diisi dengan adegan klasik dua orang yang saling menelepon dan akhirnya bertemu setelah keduanya saling mengenali pakaian orang yang dicari.

Dan inilah ‘pangeran’ bermobil itu, namanya Mas Kiki. Mohon perhatikan sosok yang ada dalam lingkaran merah.




Mas Kiki ini adalah awak DivaPress pertama yang saya jumpai. Yang paling saya suka dari Mas Kiki adalah dia yang selalu stand by antar jemput peserta KF15 yang terus menerus berdatangan, jam berapapun, dimanapun dia siap sedia. Apalagi di hari terakhir acara, dia sampai gak mandi gara-gara kerjaannya ini. Saya bahkan dengan tega merepotkannya dengan acara titip cetak tiket kereta di stasiun. .___.v


Selanjutnya saya dan beberapa teman-teman KF15 yang sudah ada duluan di mobil, diboyong ke Asrama Kampus Fiksi.  

Asrama Kampus Fiksi (tampak luar)

Asrama ini terdiri dari dua ruang kamar peserta perempuan, dan satu kamar peserta laki-laki dan dua kamar panitia. Tidak ketinggalan dua kamar mandi di lantai dua, dan satu kamar mandi di lantai bawah.

Karena saya sudah parno duluan kalau bakalan ada antrian panjang di depan kamar mandi, maka saya berusaha untuk mandi sebelum dimandikan. Eh, bukan. Maksud saya, mandilah sebelum orang lain mandi.

Gak enak tau kalau lagi mandi ditungguin, apalagi pas keluar langsung dihujami tatapan yang seolah-olah berkata, “Lama banget sih mandinya!”

Mandi itu salah satu Me Time yang penting buat saya. Tidak perlu sering, sesekali tidak apa-apa, yang penting mandi. Taaaapi kalau keadaan udah lengket, asem, sumuk, ya mandi jadi solusinya. *yeah*

***

Acara Kampus Fiksi angkatan 15 dibuka secara resmi pukul 20.00 WIB dengan sambutan yang gak jadi dari salah satu editor DivaPress, Mbak Nisrina Lubis (selanjutnya dipanggil Mbak Rina dalam tulisan ini) yang cool dilihat dari segala dimensi. 

Pertama kali saya tahu nama ini dari buku terbitan Diva yang judulnya Miskin tapi Sukses Sekolah/Kuliah.



Ini buku favorit Mama saya. Mama selalu baca buku ini kala senggang dan hidup dulu.

Dan acara dilanjutkan dengan sambutan yang paling resmi dari CEO DivaPress, yakni Bapak Edi AH Iyubenu.

Dalam sambutannya, Pak Edi mengajukan satu pertanyaan untuk kami, 19 orang peserta Kampus Fiksi angkatan 15 yang sudah pasang tampang lelah meski sudah dikasih makan lele madu bakar. 

Pertanyaannya begini, “Apa sih tujuan panjenengan semua datang jauh-jauh ke sini?”

Dan jawaban kami adalah saling bertukar tatap dengan teman sebelah. Bingung. Tapi saya pribadi malu buat jawab, karena jelas saya datang ke Yogya untuk jemput 55 buku yang akan saya adopsi. (˘ε˘ƪ) 

Lalu kami semua diam, tidak berkata apa-apa.

Pak Edi yang seakan bisa membaca jawaban dari raut wajah kami, langsung berkata, “Yang terpenting adalah luruskan niat.”

Kawan yang budiman, ini nih kalimat pamungkas yang langsung meluruskan niat saya yang tidak semurni susu sapi, gambar beruang, iklan naga, merk Bear Brand. Luruskan niat, lakukan yang terbaik. Itu!

“Karena tidak ada jaminan bahwa sepulang Anda dari Kampus Fiksi, Anda akan langsung jadi penulis,” lanjut Pak Edi. Lalu beliau diam, menghela napas. “Tidak ada yang instan di dunia ini.” Dan menit berikutnya diisi dengan cerita tentang kisah suram nasib penulis di Indonesia yang membuat saya insyaf melarikan diri dari skripsi.

Pak Edi berpesan, “Jangan jadikan menulis sebagai profesi utama, jika Anda bukan Tere Liye.” Dan satu lagi pesan Pak Edi, “Di Indonesia, jika ingin kaya jangan jadi penulis.”

Niat saya untuk jadi penulis seutuhnya langsung terjun bebas sebebas-bebasnya! Tapi begitulah, ini realitanya. Terima atau tidak, nasib penulis di Indonesia masih jauh dari kata sejahtera. Kecuali, Tere Liye.

Selama sambutan diberikan, ada banyak sekali kalimat-kalimat ajaib yang mengalir begitu saja dari beliau.

Jadi beginilah Kawan, senang rasanya mendengar cerita dari orang besar yang punya seribu bahkan sejuta pengalaman. Setiap detik kebersamaan dengannya terasa berharga. Tapi jangan lupa, sediakan buku setiap bertemu orang-orang dengan prototype seperti Pak Edi. Ilmu itu harus diikat dengan menulisnya, harus.  

Kami diberikan suvenir, berupa tas jinjing warna putih dengan logo #KampusFiksi berisi novel terbaru DivaPress, block note, Silabus Menulis Fiksi dan Nonfiksi, dan sebuah pulpen.





Oh iya, salah satu kalimat ajaib dari Pak Edi yang jadi favorit saya adalah, “Orang yang minta buku atas nama persahabatan itu berengsek!”

Aaaaaak, apa saya bisa pasang status dengan kalimat itu? Mampu gak ya? Mampu gak yaa? >.<

Acara pembukaan ini dilanjutkan dengan penyerahan simbolis member card yang mengundang banyak tanya.

“Apa kegunaan member card itu?”
“Apa kalau pakai kartu ini kita dapat diskon beli buku DivaPress?”
“Apa kartunya bisa dipakai di Indomaret?”

Dan pertanyaan konyol lainnya terus bermunculan di grup WhatsApp sampai cerita ini mulai saya tulis.

Lanjut ke bagian yang menegangkan di sesi brainstorming. Dimana Mbak Rina meminta kami membuat outline cerpen dengan panjang 4-8 halaman yang memuat twist di ending ceritanya. Cerpen akan ditulis selama 3 jam esok hari pada sesi bimbingan menulis dengan mentor.

Omong-omong soal twist, saya jadi teringat cerpen-cerpen yang dimuat di basabasi.co. Rata-rata cerpen yang dimuat di sana menghadirkan twist yang bisa bikin pembacanya berujar kaget, “Ih, gak nyangka gue!” Aduh, cerpen begitu tuh tingkat dewa! Susah bikinnya! Tidaaaakkk!! (۳ ˚Д˚)۳

Secara perlahan, atmosfer ruangan berubah. Semuanya menulis, berpikir, lalu menulis lagi. Durasi membuat outline ini kurang lebih tiga puluh menit, dan selama itu pula saya googling demi mencari jawaban atas pertanyaan yang malu sekali saya tanyakan pada teman-teman lainnya.

Outline itu apa?

***

Lanjut ke part 2 di lain waktu (‾)
Terima kasih sudah membaca.


Comments

Popular posts from this blog

Aplikasi Berbagai Model Pengembangan Sistem Instruksional

BAB I PENDAHULUAN A.                 LATAR BELAKANG Istilah pengembangan sistem instruksional ( instructional system design ) dan disain instruksional ( instructional design ) sering dianggap sama. “disain” berarti membuat sketsa atau pola atau outline atau rencana pendahuluan “mengembangkan” berarti membuat tumbuh secara teratur untuk menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih efektif, dan sebagainya. Berbagai macam model pengembangan pembelajaran dikembangkan dengan tujuan : 1.       Mudah dikomunikasikan kepada calon pemakai, baik guru maupun para pengelola pendidikan 2.       Memperlihatkan tugas-tugas utama yang harus dikerjakan untuk pengelolaan pembelajaran 3.       Memperlihatkan struktur semacam matrix antara tujuan belajar dan strategi belajar yang dapat dibandingkan anatar asatu dengan yang lainnya. ...

Review Buku Personality Plus karya Florence Littauer

Judul : Personality Plus Penulis : Florence Littauer Buku ini bagus. Kamu akan temukan ke-bagus-an buku ini setelah membaca dengan sabar semua penjabaran di dalamnya. Yang awalnya kamu akan berkata, “Saya orangnya kayak gimana sih?” dan akhirnya kamu bisa berkata, “Ternyata saya orang yang begini!” atau “Wah, ini saya banget!” Kenapa harus sabar? Karena buku ini super membosankan. Kalau dibandingkan dengan bukunya Mbak Monica Anggen yang judulnya “Jangan Kebanyakan Teori Deh!” atau “Yakin Selamanya Mau di Pojokan?” atau buku-buku seri pengembangan diri karya penulis Indonesia, buku ini gak ada apa-apanya. Isinya  full  tulisan, jangan harap ada ilustrasi sebagai pemanis di sini, ya kalaupun ada bagan, menurut saya sama sekali tidak menarik. Sebagai perbandingan, coba perhatikan dua foto di bawah ini ya.  Penampakan ilustrasi di buku YSMP-nya Monica Anggen Penampakan bagian dalam PP-nya Florence Littauer Mungkin karena ini buku...

Pengalaman Ikut Kampus Fiksi DivaPress (Part 2)

Demi menjalankan prinsip, ‘Mandilah sebelum orang lain mandi’ saya bangun pukul 04.00 WIB pada 30 Januari 2016. Cuma bangun, matikan alarm, terus tidur lagi. Sungkan juga sepagi itu sudah mandi, kelihatan banget kalau saya ngincer urutan pertama mandi. Jika Choi Taek dalam Reply 1988 berkata bahwa salah satu bagian terbaik dalam hidupnya setelah berpacaran dengan Deok Sun adalah berhenti minum obat tidur. Maka bagian terbaik dalam hidup saya saat mengikuti Kampus Fiksi adalah perbaikan gizi. Dalam sehari, kami diberi makan 3 kali sehari. Sarapan pagi, makan siang dan makan malam. Tak lupa dengan snack , kopi, gula, teh, Indomie, telur, yang selalu tersedia. Enak betul, bukan? *sungkem sama Pak Edi* Adalah hal yang mengagumkan bagi saya begitu sadar saat jarum menunjukkan pukul 7 pagi dan semua teman KF15 sudah selesai mandi. Hal ini mematahkan pikiran negatif saya bahwa angkatan saya akan membuat antrean panjang di depan kamar mandi menjelang waktu makan pagi. Congrats Gengs! Sesi per...