Maudy Lynn
Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali. Genap sudah dua puluh anak tangga telah kulewati demi menemukan ruang ujian akhir semester satu. Kurogoh saku kemejaku, mengambil tiket emas selama enam hari kedepan. Kartu Ujian. Ruang 34 menjadi arena pertempuranku dengan puluhan soal demi nilai rapor yang memuaskan.
Bagian atas gedung ini berupa aula yang telah dipetak-petak menjadi beberapa kelas dengan pembatas berupa triplek berlapis-lapis. Tapi sayang, yang ada hanya R. 32 dan 33. Kemanakah gerangan R. 34?
Rasa kesal mulai menjalari hatiku. Semangatku perlahan runtuh. Kupandangi kaca demi kaca yang terpasang apik berbingkai kusen alumunium berwarna silver metalik. Pandanganku tertuju pada sederet jendela disamping pintu masuk R.33. Gorden – gorden kecil berwarna biru tua menutupi kaca jendela ini dari dalam. Jangankan melihat, menerawang-pun rasanya tak mungkin. Lalu kuperhatikan jendela R.33. Bila tak ada lagi ruang, maka untuk apa jendela-jendela ini? Selain itu tak ada pintu masuk di depan kelas seperti R.32 dan 33. Namun anehnya di bagian kiri jendela terakhir terpampang anggun papan kecil bertuliskan;
Room : XI IPS 3
SMAN 1 TAMBUN SELATAN
Segera kuhampiri sudut kiri jendela yang membuatku penasaran. Aku melangkah kedepan, mengamati jalan kecil disamping jendela ini. Bingo!!! Tuhan telah mempertemukanku dengannya, ruang 34!!! Inilah satu-satunya ruang kelas di sekolahku yang memiliki pintu masuk bukan pada tempatnya, yakni dibelakang ruang kelas.
Tak ada meja untuk siswa disini, yang ada hanya bangku khas anak kuliahan yang berjumlah 40 buah, satu set meja untuk guru, dua buah whiteboard dan pintu yang didominasi dengan kaca tebal khas pintu di wartel-wartel yang mulai punah serta tiga buah kipas yang terpajang disetiap sudut ruang ini. Maka duduklah kami para siswa-siswi berdekat-dekatan, mencuri-curi kesempatan melihat jawaban teman.
Duduk disamping kiriku seorang adik kelasku. Namanya Jack, kusebut demikian karena aku tak tahu siapa namanya. Tinggi tubuh Jack mencapai 180cm, ia yang tertinggi diantara kaum adam lainnya. Posturnya yang ramping membuat ia terlihat menjulang bak tiang bendera sekolah bila sedang berjalan. Kulitnya kecokelatan, tak jelas apa model rambutnya, namun tampak rapi di mataku yang minus dua ini.
Ia tak berbincang dengan siapapun kecuali kawan yang duduk tepat didepannya, Rizal. Adik teman sekelasku. Sudah dua hari aku meringkuk di ruang pengap ini, namun tak pernah kudengar suara Jack barang sekalipun. Ia seperti daerah laut bermuda yang telah menenggelamkan Kapal Tampomas 2. Misterius. Alisnya yang tebal dan menyatu menambah kesan misterius itu makin melekat pada dirinya.
Kali ini kupandangi wajahnya, mencoba menangkap apa yang ia pikirkan. Matanya yang sayu menatap lekat kertas buram asli daur ulang made in Indonesia yang tercetak ratusan huruf yang terangkai menjadi empat puluh soal. Mata sayu itu perlahan bergerak, ke kiri dan ke kanan, gerakannya semakin cepat.
Deg!!!
Sebuah tabuhan keras mengena dijantungku. Mata sayu itu!
Kami beradu pandang dalam jarak ±80cm. Saat ini aku merasa jarum detik seluruh jam di dunia ini berhenti berdetak. Aku terpana dan merasa sepeti melayang. Alis kanannya bergerak ke atas, suara ketukan pulpen di atas papan bangku menyadarkanku.
“Jawaban nomor ini apa?” Jari telunjuknya yang kurus menunjuk pada sebuah nomor dengan kalimat berderet panjang dan beranak pinak. Jantungku berdegup kencang, seperti genderang suku aborigin yang ditabuh dalam keadaan kalang kabut karena perang antar suku telah dimulai.
“Daftar pustaka?” tanyaku cepat berlomba dengan napasku yang mulai tercekat. Ia mengangguk pelan lalu menyodorkan sobekan kertas soal tersebut seolah berintruksi, “tulis jawabannya disini”
Beberapa menit kemudian, kertas mungil itu telah menjadi barang berarti baginya. Diterimanya dengan hati-hati kertas tersebut seperti baki Paskibraka menerima bendera pusaka dari tangan Bapak Presiden. Aku yakin jawabanku benar, karena aku ingat betul hal ikhwal daftar pustaka. Dan kali ini aku bersyukur karena dalam setiap pembuatan makalah, karya tulis dll, aku diberi kehormatan untuk membuat daftar pustaka. Tuhan memang telah berencana.
“Makasih,” ujarnya datar. Tabuhan genderang itu semakin kencang, seolah ingin menghancurkan jantungku. Tuhan, aku beruntung hari ini.
♣♣♣
“Psst...psst”
“Nomer lima”
“B!!!”
“Psst...pssstt” Untuk kesekian kalinya aku menoleh. Kawan nun jauh disana melambaikan tangan padaku, mengirim pesan SOS padaku. Jari jemarinya bergerak lincah, mengisyaratkan bahwa ia meminta jawaban nomor 19, 21, dan 40. Aku mengangguk mengiyakan dengan tangan bersiap menjawab pesan SOS tersebut. Dengan kecepatan kurang dari sepuluh detik, pesan tersebut telah kujawab dengan isyarat pula. Satu jari untuk A, tiga jari untuk C, dan empat jari untuk D.
Sinyal SOS lain kuterima dari segala penjuru. Sontak aku kewalahan, kinerjaku menjawab pesan SOS mendadak LOLA. Aku tak lagi memperdulikan lolongan-lolongan mereka saat waktu ujian bergegas meninggalkanku.
Lima belas menit lagi!!! Lembar jawaban di tanganku tersenyum nyinyir seolah berkata, “Penuhi aku dulu, baru kau urusi orang lain”. Masih ada dua essai yang menjerit-jerit meminta jawaban. Aku memutar otak, mencari jawaban yang pas tak peduli benar atau tidak. Yang penting diisi, hiburku. Aku cukup menyesal karena tak mempelajari materi ini tadi malam.
Satu soal terakhir!
Aku berkali-kali memanggil Ririn yang berada diseberang Jack sepelan mungkin. Akhirnya ia menoleh padaku, ia memasang mimik wajah aneh seolah bertanya “nomer berapa?” Satu, jari telunjukku mewakili suaraku.
“Deep... On...” katanya pelan. Aku bingung, tak bisa mendegar jelas apa yang ia katakan. “Apa? Ulangin dong...” pintaku tak kalah pelan. Huruf demi huruf mulai ia ejakan. Tapi, kepalaku sudah penat. Semua menjadi buyar. Aku tak dapat menangkap apapun. It’s last choice, aku merobek kertas ulangan sekecil mungkin, lalu memberikannya pada Jack agar ia memberikannya pada teman sebangku-ku itu. Ia menatapku sesaat, beberapa saat kemudian pensil 2B yang digenggam jari-jari kurus itu menari dengan lincah. Aku terperangah, “Mau apa bocah ini?” gerutuku membatin. Disodorkannya kertas tersebut, dan tertera besar-besar sebuah kata yang amat kubutuhkan.
Deepen On
♣♣♣
“Duh, besok hari terakhir nih. Tapi belum ada pendekatan berarti,” keluhku. Sesekali aku melirik ke dalam kelas, melihat sang bocah pujaan hati.
“Duh, mau nyerah aja ah” lanjutku. “Lho, lu suka sama siapa Ka? Kok tiba-tiba nyerah?” tanya Ririn tiba-tiba. Jari telunjuk Odi menunjuk menjawab dengan menunjukkan sosok Jack di dalam kelas.
“Oh, dia... Jangan Ka, dia tuh suka sama Oka” ujar Ririn. Aku mengernyitkan dahi tanda tak percaya.
“Iya sih, Odi liat juga. Kalau dia ke Odi biasa… tapi kalau ke Oka beda” timpal Odi. Aku tersenyum kecut. Pikiranku melayang pada waktu itu, mata sayu itu bergerak ke arah seseorang didepanku. Tangan kurusnya meraih benda kecil dari orang itu. Senyum kecil bermain diujung bibirnya. Kurasakan dadaku sesak, mataku panas. Tuhan, aku cemburu!!!
“Tapi kayaknya dia lebih cenderung ke Odi,” ujarku pelan. Odi terkejut, ia menepuk tanganku seperti ibu-ibu arisan yang memulai sebuah gossip berbau dosa.
“Ngga Ka, Oka liat gak mata dia waktu nulisin jawaban dari Tyas waktu itu?” tanyanya memulai argumentasi. Aku terdiam,
“Beda Ka, dia menatap Oka penuh arti, Odi liat itu Ka” lanjutnya. Aku tersenyum sumbang.
“Gue gak liat Di” tukasku pelan.
♣♣♣
Kepanikan mulai menguasai Jack pada lima menit terakhir, kali ini ia mencari benda kecil berbahan dasar karet berwarna putih. “Kan biasanya ada dikantong lu…” ujar Rizal. Jack merogoh sakunya, kurasa ia memang memiliki kebiasaan menyimpan penghapus dalam sakunya biarpun milik orang lain.
“Gak ada Zal, Zal… penghapus…” Jack mulai merengek. Rizal tak menggubris rengekan Jack. Kasihan. Aku menawarkan penghapus milikku. Dengan suka cita Jack meraihnya.
Kali ini lembar jawabanku tersenyum manis, maniiiis sekali. Ia senang karena kali ini aku mengisi penuh dirinya sebelum bel berbunyi. Aku menghapus noda-noda pensil yang membuat lembar jawabanku nampak kotor. Dan lagi-lagi, ia tersenyum, lebih manis dari sebelumnya. Hahaha, aku mulai gila...
Jam pertama hari terakhir telah usai. Penghapus milikku tergeletak tak berdaya diatas bangku Jack. Kupikir tugasnya telah selesai, segera kuraih ia dan kumasukkan ke dalam tempat pensil.
Jack merogoh saku kemejanya, lalu membungkuk mengamati lantai.
“Tadi penghapusnya dimana ya?” ucapnya berulang-ulang. Aku terkejut, “Tadi penghapusnya udah diambil kok,” sergahku menghentikan pencariannya. Ia mengangguk kecil dan ucapan terima kasih terdengar samar ditelingaku. Odi menarik tanganku dan mengajakku keluar kelas. Dipojok beranda telah ada Ririn dan segelas besar Teh Poci seharga dua ribu rupiah yang langsung habis disedotnya hanya dalam hitungan detik. Mengagumkan.
“Kayaknya Oka seru nih,” ujarnya membuatku tersipu. “Iya nih, Oka selalu ada disaat dia butuh” timpal Odi melambungkanku. Aku mendekati jendela, hendak memandangi Jack. Sepertinya aku benar-benar lupa bahwa memandang lawan jenis lewat dari 5 menit dengan tujuan tertentu adalah dosa.
Bel sekolah mulai menjerit-jerit memerintahkan kami segera memasuki kelas.
Huruf kerinting yang sulit dibaca ini membuat kepalaku agak pening. Aku melepas kacamata dan memijat sinus frontal yang ada diantara dua alisku. Bahasa Jepang, kami dipaksa menelan bulat-bulat empat puluh soal bahasa asing itu dalam waktu satu setengah jam. Beruntung Sensei Ganjar menerangkan setiap materi dengan jelas, sehingga aku dan sembilan belas kawanku lainnya tak semerana ulangan umum semester dua setengah tahun yang lalu. Ditambah lagi, bantuan anak-anak nakal yang mendapat bocoran jawaban dari sekolah lain. membuat kami semakin tenang menghadapi jam terakhir ini.
“Program lima belas menit selesai ya,” ujar kawan nun diujung sana. “Yoi” sahut seseorang diujung lainnya sambil menepuk dadanya sok jumawa. Semua anak muda berwajah tua bersorak-sorai kegirangan. Jantungku berdegup kencang, gejolak hebat berbalut semangat meletup-letup dalam diriku. Mudah sekali ulangan hari ini. Aku mulai menghitamkan tiap huruf sambil bersenandung kecil. Rizal menoleh ke arahku, cengiran khas miliknya diberikan padaku.
“Dapet bocoran lagi Kak?”
“Yoi” sahutku girang. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu melihat Jack, “Enak banget ya kelas tiga, gak kayak kita kelas dua gak dapet apa-apa” ujarnya. Jack melihatku lalu melihat Rizal, keduanya tertawa. Aneh.
Program ‘Lima Belas Menit Selesai’ berjalan lancar. Aku merapikan semua peralatanku. Aku diam sejenak. Kulirikkan ekor mataku ke arah Jack. Aura kesusahan itu kuat sekali. Aku ingin menolongnya...
“Ka, kerjain soal anak kelas dua nih, ada yang minta bantuan” kata Odi seraya memberikan lembar soal milik seorang anak berjaket hijau di depan Rizal. Anak itu menangkupkan kedua tangannya dan menelengkan sedikit kepalanya berkali-kali seperti para lelaki India yang memohon agar gadis pujaannya menerima cintanya. Aku tak berdaya.
Soal essai ini berupa gambar buram yang tak jelas gambar dan tulisannya ini sungguh menyulitkanku. Aku memicingkan mata agar tulisan tersebut sedikit lebih jelas. Aku berdoa agar Tuhan memudahkanku dalam menjawab soal dengan materi yang pernah kupelajari satu tahun yang lalu.
Haaah... susah... aku hanya dapat mengerjakan satu soal dari lima essai yang tersedia. Itu juga belum terbukti kebenarannya. Kertas malang itu mulai ku-estafet kedepan, dengan start yang dimulai dari Odi berlanjut ke Rizal. Tiba-tiba, kertas itu berhenti ditangan Rizal, ia membaca tulisanku dan mencocokkannya dengan jawabannya,
“Pinter juga ya, sama jawabannya ama gue” ujarnya.
“Oh ya?” sahutku merasa bangga. Ia menyimpulkan senyum kecil yang berbaur dengan cengiran yang amat menjengkelkan. Dan kertas itu segera sampai pada yang berhak. Anak berjaket hijau itu kembali menangkupkan kedua tangannya seolah berkata “terima kasih”
Entah dorongan dari mana, tanganku mengambil soal milik Jack dan menukarnya dengan soal milikku. Jack tak bereaksi apa-apa atas apa yang kulakukan. Ada harapan besar terpancar dari matanya. Ya Tuhan, apa yang kulakukan? Bagaimana bila tidak ada satu soalpun yang tak dapat kukerjakan? Sedetik kemudian aku menyesali perbuatan bodohku. Tapi segera kuhapus perasaan yang bodoh itu, penyesalan tak berarti jua. Tuhan, tolong bantu aku.
“Nih, tapi cuma nomer empat doang, yang lainnya lumayan susah” ujarku sebelum memberikan kertas tersebut. Jack segera menyerahkan soal milikku.
Gyuuutt!!! Sebuah cubitan kecil mendarat dipipiku. Aku terkesiap.
“Hayoo.. Kerjain sendiri...” tegur Ibu pengawas bertubuh mungil dengan nada bergurau. Aku terkekeh dengan jantung yang berdegup kencang. Aku ketahuan! Jack tertawa kecil, aku senang melihat tawanya itu. Kulayangkan pandanganku sejauh mata memandang. Semua siswa kelas tiga tersenyum riang padaku. Seolah berkata “Sukses besar Nona”. Pandanganku berakhir pada Jack.
“Udah selesai?” tanyaku. Jack menoleh dan menunjukkan lembar jawabannya. Sontak mataku tertuju pada sederet huruf yang membentuk sebuah nama,
‘Imam Setiawan’ Aku tertegun perasaan aneh mencuat dipermukaan hatiku. Aku senang...
Ternyata ada dua soal yang masih menuntut jawaban. Jack merapatkan bangkunya denganku, lalu menunjukkan dua soal ajaib tersebut. Aku mulai mencermati huruf demi huruf bangsa yang telah menjajah kami selama 3.5 tahun. Tak cukupkan bangsa itu telah membuat bangsa kami menderita dengan kerja Rodi-nya? Dan sekarang, kami disusahkan dengan bahasa yang mereka usahakan menjadi bahasa internasional. Kata demi kata mulai kuterjemahkan dengan kemampuanku yang apa adanya. Alhasil satu soal dapat terjawab. Jack segera menyalin apa yang kutuliskan di kertas soal tersebut. Ia berusaha keras membaca tulisanku yang acak-acakan bak fosil tulisan di Goa Tulis di Sulawesi.
Lalu soal kedua. Ah!! Rasa malas mulai menjalari diriku,
“Diartiin aja dulu, ntar juga ketemu jawabannya, liat gambarnya juga, jawabannya ada disitu semua” saranku sok bijak. Bahasa hanyalah sebuah permainan kata-kata, begitulah petuah bijak Lintang. Salah seorang Laskar Pelangi yang paling terang warnanya diantara tujuh warna pelangi lainnya. Kusimpan baik-baik nasihat itu dalam hatiku, lalu kutanamkan dalam jiwaku.
Bibir tipis Jack merengut, dagunya mengeras, mata sayunya memandangi kertas itu. Rizal berbalik kebelakang meminta contekan, tapi Jack malah menyampaikan apa yang kusampaikan padanya barusan.
“Ya ampun, kalau kita tau artinya. Kita gak bakal kelimpugan kaya gini Kak” cibir Rizal. Aku tersenyum mendengar cibirannya. Siapa suruh gak belajar! ejekku dalam hati.
Perpisahanku dengan Jack tinggal menghitung menit. Tak berapa lama, bel sekolah kembali meraung-raung kesetanan, membuka lebar-lebar gerbang perpisahanku dengannya. Dengan malas kuletakkan lembar jawaban di atas meja pengawas. Aku sengaja berlama di dalam kelas untuk memberikan salam perpisahan, namun lidahku terasa kelu. Otakku berhasil mengalahkan kehendak hatiku dengan memerintahkan syaraf otot kakiku berjalan keluar kelas. Aku tak berdaya.
Odi dan Ririn sedang asik melihat kawan seperjuangan lainnya yang masih berada didalam jeruji R. 34 lewat jendela. Aku menghampiri mereka, lalu mengambil tempat disamping Odi. Mataku mengikuti kemanapun Jack bergerak, tapi kali ini aku kehilangan ia. Karena sedari tadi aku memperhatikan Rizal saat Odi bercerita tentang perasaannya pada bocah itu selama ini. Aku membalikkan badan, ternyata Jack ada di pojok beranda tempatku dan kawan lainnya biasa bertengger saat istirahat. Ia menyandarkan tubuhnya pada tembok tiang penyangga bangunan ini.
“Ka, cowok yang lu suka tinggi banget ya..” komentar Ririn saat ia melihat Jack. Aku segera menghampiri Ririn yang telah berpindah tempat, dan meninggalkan Odi yang masih bertengger di jendela. Aku mengambil tempat disamping Ririn tepat membelakangi Jack “Pak Imam aja masih kalah sama dia...” lanjutnya.
Imam...
Aku lupa kalau nama asli Jack juga Imam. Padahal baru tadi aku tahu namanya. Ririn memulai cerita tentang pertandingan futsal kelas kami tempo hari. Ia amat bersemangat. Kalau diijinkan, aku yakin ia pasti dengan senang hati masuk dalam tim futsal sekolahku. Dan andai ada tim futsal putri, ia akan menjadi pendaftar pertama yang menyerahkan formulir pendaftarannya. Aku melirik Odi, ia masih sibuk mengamati pujaan hatinya. Beberapa anak bergabung bersama kami, kurasa mereka tertarik akan cerita Ririn.
Tak terasa tiga puluh menit berlalu, bel berbunyi laksana sirene pemadam kebakaran yang berjuang melintasi kemacetan karena ada kebakaran besar ditengah kota. Seluruh siswa kelas dua mulai bergerak meninggalkan luar kelas dan berdesak-desakkan memasuki ruang ujian. Aku berusaha menahan pandanganku saat ujung mataku melihat Jack beranjak dari tempatnya berdiri. Dadaku sesak menahan gejolak dalam batinku. Aku ingin melihatnya untuk yang terakhir kalinya.
Jangan! Kumohon... Jangan!! Dua suara hatiku berseteru berebut kendali tindakanku selanjutnya. Aku tak sanggup lagi saat aku sadar Jack semakin menjauh, aku cepat berbalik, mataku mencari sosok yang telah membuatku seperti ini.
“Imam!!!” teriakku dalam hati. Beberapa detik kemudian, sosok itu menoleh kebelakang. Pandangannya tertuju padaku. Aku terpana melihat keajaiban ini. Cepat-cepat kusuguhkan senyum terbaikku yang tak pernah kuberikan selama mendekam di ruang 34 enam hari lamanya.
Ya Tuhan... Kumohon buat ia....
Belum selesai aku memohon, ternyata Tuhan telah mengabulkannya. Segaris senyum melengkung manis dibibirnya, air mukanya naik, diikuti seri yang terpancar dari wajahnya. Tak pernah kulihat ia tersenyum semanis itu. Maniiis sekali, bahkan jauh lebih manis dari lembar jawabanku yang tersenyum dalam imajinasiku. Aku terpana melihatnya, lebih tepatnya ternganga.
Senyum itu tak lepas dari wajahnya saat ia memohon diri padaku. Aku menyimpulkan senyum disertai anggukan mengiyakan. Perlahan pemilik senyum itu lenyap seiring dengan bel yang berhenti meraung hebat. Semalam aku berdoa agar hari ini menjadi hari yang indah untukku, setidaknya menjadi hari yang menyenangkan bagiku. Dan Tuhan memang amat baik.
Comments
Post a Comment