BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asuransi merupakan bisnis yang unik, yang di dalamnya terdapat kelima aspek kehidupan, yakni aspek ekonomi, hukum, sosial, bisnis, dan matematika. Ditilik dari sejarahnya, Konsep asuransi atau dapat dikatakan peristiwa yang merupakan dasar dari asuransi sudah ada sejak zaman sebelum masehi dan terjadi pada masa Mesir kuno yaitu pada nabi Yusuf yang mengartikan mimpinya bahwa di Mesir akan terjadi panen yang melimpah selama 7 tahun yang diikuti paceklik selama 7 tahun juga. Untuk berjaga-jaga terhadap bencana kelaparan tersebut Raja Fir’aun mengikuti saran nabi Yusuf dengan menyisihkan sebagian hasil dari panen 7 tahun pertama sebagai cadangan bahan makanan pada masa paceklik. Dengan demikian pada masa 7 tahun paceklik rakyat Mesir terhindar dari resiko kelaparan hebat yang seluruh negeri. Kemudian hal seperti itu berlanjut pada tahun-tahun dan pemerintahan sesudah itu seperti Alexander Agung dan tokoh-tokoh lain.
Seiring perkembangannya, asuransi semakin berkembang di Negara-negara Eropa yang menerapkan system ekonomi riba dalam semua asuransi muamalahnya, yang kemudian praktek asuransi ini berkembang pesat di Negara-negara Asia, termasuk Indonesia.
Tujuan diadakannya asuransi memang untuk tolong menolong, akan tetapi pada realitasnya, system asuransi konvensional telah gagal dalam menciptakan keadilan di pihak nasabah. Maraknya tindak criminal yang bermotif untuk mendapatkan uang asuransi menjadi salah satu indikasi kegagalan system asuransi konvensional. Meskipun demikian, Asuransi sudah tidak dapat lagi dihindari dalam kehidupan masyarakat, ia sudah menjadi bagian dalam perekonomian masyarakat, terlebih untuk kelas menengah ke atas.
Menyadari hal tersebut, perlu adanya pembahasan tentang bagaimana hukum asuransi dalam perspektif Islam agar masyarakat dapat mengambil sikap dalam menghadapi tuntunan kemajuan zaman dan mempertahankan keislaman.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan asuransi?
2. Bagaimana pendapat para ulama mengenai asuransi?
BAB II
PEMBAHASAN
ASURANSI
A. Pengertian Asuransi (Konvensional)
Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie, yang dalam hukum Belanda yang disebut Verzekeringyang artinya pertanggungan. Dari peristilahan assurantie kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerdebagi tertanggung.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Asuransi di Indonesia memaknai asuransi sebagai: “suatu persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas kapan terjadinya.”
Secara baku, definisi asuransi di Indonesia telah ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, “Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada yang tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan.”
Dari beberapa definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan asuransi yaitu hubungan antara pihak penanggung dan yang tertanggung, untuk memberikan ganti rugi kepada tertanggung bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan tertanggung membayar premi.
B. Pengertian Asuransi (Syariah)
Dalam bahasa Arab, Asuransi disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut mu’ammanlahu atau musta’min.
Al-Fanjari mengartikan tadhamun, takaful, at-ta’minatau asuransi syariah dengan perngertian saling menanggung atau bertanggung jawab sosial. Ia juga membagi ta’minke dalam tiga bagian, yaitu ta’min at-taawuniy, ta’min al tijari, dan ta’min al hukumiy.
Husain Hamid Hisan mengatakan bahwa asuransi adalah sikap ta’awun yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia. Semua telah siap mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian (derma) yang diberikan kepada masing-masing peserta. Dengan pemberian (derma) mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami peserta yang tertimpa musibah.
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah memberi definisi tentang asuransi. Menurutnya, Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful, Tadhamun)adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
Dari definisi di atas tampak bahwa asuransi syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong yang disebut dengan ta’awun.Yaitu prinsip hidup saling melindungi dan saling menolong atas dasar ukhuwah Islamiyah antara sesama anggota peserta Asuransi Syariah dalam menghadapi malapetaka.
C. Pendapat Ulama tentang Asuransi
1. Pendapat Ulama yang Mengharamkan
a. Syaikh Ibnu Abidin dari Mazhab Hanafi
Beliau merupakan orang pertama yang berbicara tentang asuransi di kalangan ahli fiqih Islam. Dalam kitabnya yang terkenal. Hasyiyah Ibnu ‘Abidin, bab al-Jihad pasal menyewa kapal dari seorang Harby, mereka membayar upah pengangkutannya. Di samping itu dia juga membayar sejumlah uang untuk seorang Harby yang berada di negeri asal penyewa kapal, yang disebut sebagai sukarah ‘premi asuransi’ dengan ketentuan bahwa barang-barang pemakai kapal, yang berada di kapal yang disewa itu, bila musnah karena kebakaran atau kapal tenggelam, atau dibajak dan sebagainya, maka penerima uang premi asuransi tersebut menjadi penanggung, sebagai imbalan dari uang yang diambil dari pedagang itu. Penanggung itu mempunyai wakil yang mendapat perlindungan (musta’man) yang di negeri kita berdiam di kota-kota pelabuhan Negara Islam atas seizin penguasa. Si wakil tersebut menerima premi asuransi dari para pedagang, dan bila barang-barang mereka tertimpa peristiwa yang disebutkan di atas, si wakil yang membayar kepada para pedagang sebagai uang pengganti sebensar uang yang pernah diterimanya.
Kemudian ia mengatakan, “Yang jelas, menurut saya tidak boleh bagi si pedagang itu mengambil uang pengganti dari barang-barangnya yang telah musnah, karena yang demikian itu ‘iltizamu ma lam yalzam’ yakni mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/wajib.”
b. Syaikh Muhammad Yusuf Al-Qaradhawi, Guru Besar Universitas Qatar
Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram fil Islam mengatakan bahwa asuransi (konvensional) dalam praktik sekarang ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Ia mencontohkan dalam asuransi kecelakaan, yaitu seorang anggota membayar sejumlah uang setiap tahun. Apabila ia lolos dari kecelakaan, maka unag jaminan itu hangus. Sedangkan si pemilik perusahaan akan menguasai sejumlah uang tersebut dan sedikitpun ia tidak mengembalikannya kepada anggota asuransi itu. Tetapi bila terjadi suatu kecelakaan, maka perusahaan akan membayar sejumlah uang yang telah diperjanjikan bersama.
Usaha semacam ini, kata al-Qaradhawi, sama sekali jauh dari watak perdagangan dan solidaritas bersyarikat.
c. Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, ulama ahli fiqih, Guru Besar Universitas Damaskus Syiria
Az-Zuhaili dalam kitab fiqihnya yang sangat masyhur ‘Al-Fiqih Al-Islami Wa ‘Adillatuhu mengatakan bahwa pada hakikatnya akad asuransi temasuk dalam ‘aqd gharar yaitu akan yang tidak jelas tentang ada tidaknya sesuatu yang diakadkan. Padahal, Nabi Muhammad saw. melarang jual beli gharar. Jika diqiyaskan kepadanya akad pertukaran harta, maka akad asuransi memberi kesan gharar seperti gharar yang terdapat dalam akad jual beli.
Akad asuransi bersama juga merupakan akad pertukaran harta. Ia juga termasuk gharar, sebagaimana gharar yang terjadi di kebanyakan akad pertukarana harta. Ahli syariah memasukkannya dalam kelompok ‘aqd gharar. Ini disebabkan akad asuransi itu adalah untuk kejadian yang akan datang yang belum pasti berlaku dan tidak diketahui terjadinya, karenanya gharar melekat dan menyatu dalam praktik dan akad asuransi. Oleh karena itu, kata az-Zuhaili haram bagi seorang pedagang dan bagi seorang mukmin mengambil ganti rugi dari harta, yang diberikan oleh perusahaan asuransi. Karena hal itu merupakan harta yang tidak perlu bagi orang yang memerlukannya, karena ia merupakan jaminan yang cacat dan batal menurut ukuran syara’.
d. Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris umum MUI, KH.M.A Sahal Mahfudh dan Prof. DR. HM. Din Syamsudin. MUI pada prinsipnya menolak asuransi konvensional, tetapi menyadari realita dalam masyrakat bahwa asuransi tidak dapat dihindari. Karena itu DSN-MUI dalam fatwanya memutuskan tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
2. Pendapat Ulama yang Menghalalkan
a. Syaikh Abdur Rahman Isa
Beliau adalah salah seorang Guru Besar Universitas Al-Azhar. Menurutnya, perjanjian al-ji’alah yakni memberi janji upah. Ia berkata bahwa asuransi mewajibkan dirinya untuk membayar sejumlah uang ganti kerugian apabila pihak lain mengerjakan sesuatu untuknya, ialah membayar uang premi dengan peraturan tertentu. Maka, apabila seseorang telah mengerjakan perbuatan itu, berhaklah ia atas sejumlah uang pengganti yang dijanjikan.
Selanjutnya, beliau mengatakan bahwa sesungguhnya perusahaan asuransi dengan nasabahnya saling mengikat dalam perbuatan ini atas dasar saling meridhai. Itu merupakan perbuatan melayani kepentingan umum, memelihara harta milik orang-orang, dan menolak risiko harta benda yang terancam bahaya. Sebaliknya, perusahaan asuransi memperoleh laba yang memadai, yang disepakati oleh kedua belah pihak. Kedua belah pihak sepakat atas perbuatan yang mengandung maslahat yang berhubungan dengan apa yang telah diciptakan Allah swt bagi kepentingan kita dan bagi manusia, perbuatan ni diperlukan. Sementara tidak diperoleh nash yang melarangnya, baik dari kita, sunnah maupun ijma. Demikian beliau mengambil konklusi tentang bolehnya asuransi, demi kemudahan manusia dengan menolak kesulitan.
b. Prof Dr. Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo)
Yusuf Musa mengatakan bahwa asuransi bagaimanapun bentuknya, merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat. Asuransi jiwa menguntungkan nasabah sebagaimana halnya menguntungkan perusahaan yang mengelola asuransi. Ia mengemukakan pandangan bahwa sepanjang yang dilakukan bersih dari riba, maka hukumnya boleh. Dengan pengertian, apabila nasabah masih hidup menurut jangka waktu yang ditentukan dalam polis, maka dia meminta pembayaran kembali, hanya sebesar premi yang pernah dibayarkan, tanpa ada tambahan. Tetapi manakala sang nasabah meninggal sebelum batas akhir penyetoran premi, maka ahli warisnya berhak menerima nilai asuransi, sesuai yang tercantum dalam polis, dan ini halal menurut syara’.
c. Prof. Dr. Muhammad al-Bahi (Wakil Rektor Universitas Al-Azhar Mesir)
Dalam kitabnya Nidlomut Ta’min fi Hadighi Ahkamil Islam wa Dlarurotil Mujtamil Mu’ashir, ia berpendapat bahwa asuransi itu hukumnya halal karena beberapa sebab. Yakni :
1. Asuransi merupakan suatu usaha yang bersifat tolong menoong.
2. Asuransi mirip dengan akad mudharabah dan untuk mengembangkan harta benda.
3. Asuransi tidak mengandung unsur riba.
4. Asuransi tidak mengurangi tawakkal kepada Allah swt.
5. Asuransi suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musibah.
6. Asuransi memperluas lapangan kerja baru.
d. Syaikh Muhammad Dasuki
Dalam kitabnya Majimaul Bukhuts al-Islamiyah, ia mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya halal dikarenakan beberapa hal.
1. Asuransi sama dengan syirkah mudharabah
2. Asuransi sama dengan akad kafalah atau syirkatul ‘ainan
3. Pelaksanaan asuransi dapat didasarkan atas firman Allah dalam surat al-An’am ayat 82. : “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
e. Prof. Mustafa Ahmad az-Zarqa, Guru Besar Universitas Syiria
Syaikh az-Zarqa berpendapat, jika ada di antara anggota sebuah asuransi sebelum preminya selesai diangsur, maka kepadanya dibayar penuh oleh perusahaan asuransi sebesar uang yang telah diperjanjikan. Asuransi yang semacam ini tidak mengancung tipuan bagi kedua belah pihak, karena itu hokum syara’ membolehkan.
az-Zarqa lebih lanjut mengatakan bawa system asuransi ini memberi keamanan dan ketenangan hati bagi para anggotanya. Bagi az-Zarqa, kebolehannya karena tidak ada gharar. Perikatan asuransi dipandang sebagai prinsip yang dharuri menurut syara; dan harus dipraktekkan di lingkungan pegawai negeri, yaitu peraturan pensiun dan pendapatan pegawai.
Peraturan pension dan gaji pegawai negeri merupakan hokum kebendaan umum pada zaman kita ini, bagi pegawai negeri yang relative sedikit dan terbatas. Ketika pegawaitelah mencapai usia lanjut, menurut peraturan pensiun, maka dialihkan statusnya menjadi pensiunan dan tidak lagi sebagai pegawai yang menerima gaji bulanan secara penuh seperti biasa. Namun dia akan menerima sejumlah uang yang diterima setiap bulan dari hasil pemotongan gaji bulanannnya selama ini, sesuai dengan masa kejar, dan dia akan terus menerus memperoleh tunjangan pensiun selama hidup, betapapun panjang umurnya. Dan bahkan setelah yang bersangkutan matipun akan berpindah kepada keluarganya. az-Zarqa kemudian bertanya, “Lalu apakah bedanya system pensiun tersebut dengan asuransi jiwa?”
Maka az-Zarqa mengambil kesimpulan bahwa system asuransi pensiun dalam bentuknya yang umum, menjadi bukti bolehnya dalam dalil-dalil syariat Islam yang sesuai dengannya.
BAB III
PENUTUP
Dari uraian singkat di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain :
1. Asuransi (konvensional) adalah hubungan antara pihak penanggung dan yang tertanggung, untuk memberikan ganti rugi kepada tertanggung bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan tertanggung membayar premi.
2. Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.
3. Dikalangan ulama terdapat beragam pendapat mengenai asuransi.
a. mengharamkan asuransi, tokohnya seperti Muhammad Yusuf Al Qardhawi, Wahbah az-Zuhaili dll, yang mengharamkan dengan alasan antara lain:
· asuransi pada hakekatnya sama dengan judi.
· Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti.
· Mengandung unsur riba
· Mengandung unsur eksploitasi.
· Termasuk aqd gharar.
b. membolehkan semua asuransi, tokohnya Muhammad Yusuf Musa, az-Zarqa dll. dengan alasan antara lain :
· Tidak nash al qur’an maupun hadist yang melarang.
· Kedua pihak yang berjanji penuh kerelaan.
· Asuransi tidak merugikan salah satu/dua belah pihak.
· Termasuk akad mudharabah dan syirkah ta’awuniyah.
· Diqiyaskan dengan system pensiun.
· Untuk kemaslahatan umum.
Comments
Post a Comment