Skip to main content

The Upstairs


“Hei, tunggu sebentar!”
“Ada apa?”
Ken tiba-tiba muncul di belakangku, baru tadi kami makan bersama di kantin, dan sekarang ia kembali menemuiku. Barusan kami makan siang bersama, selalu. Seharusnya Ken makan siang bersama gadis itu, bukan denganku. Dan ketika kutanya mengapa, ia hanya menjawab enteng bahwa gadis itu selalu sibuk di perpustakaan.
Ken tersenyum penuh padaku, dan di mataku senyumannya terlihat tulus.
“Ada apa lagi?” tanyaku seraya mengangkat satu tanganku dari besi pegangan tangga, hendak menyeka keringat di kening. Aku terbiasa berpegangan pada besi ini jika naik turun tangga, rasanya cukup aman jika berpegangan padanya.
Tiba-tiba Ken menghentikan gerakan tanganku, dan mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya.
“Hentikan, nanti kamu bisa jerawatan kalau menyentuh wajah dengan tangan yang kotor,” ujarnya. Tanpa minta ijin dariku, ia langsung menyeka keringatku dengan sapu tangannya. Sebuah perasaan aneh mencuat di permukaan hatiku, diiringi dengan debaran jantung yang mendadak dua kali lipat lebih cepat dari biasanya, dadaku bergemuruh. Astaga. Aku menekan tulang dadaku sendiri, berharap jantungku tidak jatuh menggelinding menabrak lambung karena saking cepatnya berdebar. Kutahan napas sejenak, berharap gemuruh di dada segera mereda.
Perasaan ini, apa hanya aku yang merasakannya? Apa dia tidak merasakan hal yang sama?
“Kamu sakit?”
Aku tersentak saat Ken meraih daguku.  “Kenapa wajahmu memerah?” tanyanya cemas sembari memperhatikan wajahku.
Susah payah kuteguk dahak yang menggumpal di tenggorokan.  Aku kembali menggeleng, lidahku kelu! Buru-buru kutarik wajahku menjauh dari tangannya. Ken memicingkan matanya, mengamati wajahku lekat-lekat. Ya ampun, andai saja tatapan bisa membunuh, tentu aku sudah mati karena tatapannya saat ini.
“Ay, kamu baik-baik saja kan? Kalau kamu sakit, sebaiknya pulang saja. Aku akan mintakan ijinnya ke dosen kelasmu.”
Lagi-lagi aku hanya bisa menggeleng. Jantungku yang berdebar kelewat kencang membuat ribuan kosa kata yang kuterima sejak lahir punah seketika.
“Ayo kuantar kamu ke UKS.” Ken menarik tanganku cepat, lalu membawaku menuruni tangga. Astaga. Aku harus mengatakan sesuatu! 
“Ken!” seruku.
Langkahnya terhenti, ia berbalik. Tangan besarnya kembali menyambangi wajahku, kali ini keningku.
“Ada apa? Kamu pusing?” ia bertanya dengan nada lebih cemas dari sebelumnya. Rasanya aku ingin segera bercermin dan melihat semerah apa wajahku, sampai-sampai Ken mengira kalau aku sakit.
“Tidak, tidak. Aku baik-baik saja,” jawabku sembari menyingkirkan tangannya dari keningku. Beberapa teman kelasku yang melintas melayangkan tatapan curiga ke arah kami. Ya, aku tahu apa yang ada dalam pikiran mereka.
“Tadi kamu memanggilku, sebenarnya ada apa?” tanyaku cepat, berlomba dengan napasku yang hampir tercekat.
Ken melepaskan genggamannya dari tanganku, lalu mengusap tengkuknya berulang-ulang. Raut wajahnya berubah, tak seperti biasanya. Dan ketika lensa mataku menangkap ekspresi tak biasa itu, perasaan aneh lainnya mulai memercik. Perasaanku tak enak.
“Umm… Pulang kuliah nanti, tolong temani aku mencari kado ulang tahun.”
Iris mataku membesar. Aku? Kenapa aku yang diajaknya? Kenapa bukan gadis itu?
“Oww, umm, siapa yang ulang tahun? Kakakmu? Atau ayahmu?” tanyaku penasaran. Setahuku Dirga—sepupu Ken—berulang  tahun bulan Juni ini, tapi entah tanggal berapa.
Menggeleng pelan, Ken mengalihkan pandangannya ke anak tangga. Menatap kosong lantai berwarna krem yang berkilat buah kerja tukang sapu kampus kami.
“Nadine…”
Jika hatiku seumpama sebuah gitar, maka ia baru saja putus senarnya begitu mendengar Ken menyebut nama gadis itu. Air mukaku surut, dapat kurasakan itu. Pun dengan tubuhku yang melemas seketika, seperti baru saja ada Shinigami yang lewat membawa serta separuh jiwaku melenggang bersamanya.
Ken beralih kembali melihatku, matanya berbinar cerah. Aku tersenyum tipis menyambut tatapannya meski kutahu binar mata itu, bukan untukku.
“Besok ulang tahunnya, aku ingin memberinya kado spesial. Yaah, hitung-hitung 3 bulan jadian kami.”
Aku terhenyak.
“Tadi di kantin aku lupa bilang, baru ingat sekarang. Kamu mau menemaniku kan? Aku tidak tahu bagaimana selera wanita. Dirga bilang kalau ingin membeli hadiah untuk kekasih, lebih baik minta pendapat pada teman wanita, karena kalian yang lebih tahu apa yang kalian mau.”
Aku memejamkan mata, menahan sesak, perih, dan kecewa yang mengocok-ngocok hatiku. Latar bibirku gemetar.
 “Katanya Nadine suka warna pink, beberapa hari yang lalu ia bilang kalau ia ingin tas. Mungkin kamu bisa membantuku memilihkan model tas yang cocok untuknya.”
Telingaku mendadak ditulikan dengan semua ucapan Ken barusan. Perlahan perih di hatiku menguap hingga ke mata. Menghadirkan bulir bening air mata yang bersiap membentuk air terjun di wajahku.
Aku menghela napas berat, kenapa jadi begini? Padahal semalam aku berdoa pada Tuhan agar Dia berkenan memberikanku hal yang mengesankan hari ini. Tapi ini…
Kurasakan Ken mengguncang-guncang kedua bahuku. Begitu kubuka mata, binar mata itu lenyap, berubah menjadi kilat kecemasan.
“Ayumi? Kamu mendengarku?”
 “I-Iya, aku mendengarmu,” jawabku gelagapan, sekali lagi kuseka air yang mencuat di ujung mataku. Melihatku demikian, Ken kembali mengeluarkan sapu tangannya dan melakukan hal yang sama. Detik selanjutnya, ia membuka tutup botol minumnya, membasahi ujung sapu tangannya, kemudian meraih kedua tanganku lantas membersihkannya.
“Ken… Kenapa kamu melakukan ini padaku?”
Pertanyaanku sukses membuat gerakan tangannya terhenti.  Dadaku kembali bergemuruh, guruhnya sampai mengalahkan bunyi bel masuk yang meraung-raung kesetananan. Aku tak dapat mendengar apa-apa selain protes dari hatiku yang terus memantul-mantul, minta dikeluarkan.
Hening mendadak mengepung kami dari segala penjuru. Semua mahasiswa sudah masuk kelas, hanya kami berdua yang ada di luar kelas saat ini. Di sini, di pertengahan  tangga.
“Apa maksudmu?” Ken menuntaskan gerakannya, lalu menurunkan kedua tanganku dari pegangannya.
Begitu bebas, aku meregup keduanya. Wangi dari sapu tangannya menempel di tanganku, dan hal itu membuatku semakin terluka.
“Kenapa? Kenapa kamu begitu perhatian padaku? Kenapa kamu selalu menghabiskan waktu istirahatmu denganku ketimbang dengan gadis itu? Bukankah dia kekasihmu? Kenapa kamu mau repot-repot mengeluarkan sapu tangan dari sakumu hanya untuk menyeka keringatku? Kenapa?” tanyaku gentar. Dadaku sesak!
Ken tak memberi jawaban apa-apa atas pertanyaanku. Pertanyaanku dibiarkannya mengambang hingga beberapa lama. Kepalaku mendadak diliputi gusar dan kesal.
“Apa kamu tidak tahu apa yang dikatakan teman-teman tentangku? Mereka mengira aku berusaha merebutmu dari gadis itu. Mereka mengira aku selingkuhanmu!” kali ini aku memberang, dadaku naik turun menahan gejolak dalam dada. Bulir-bulir air mata yang mati-matian kutahan agar tak jatuh, akhirnya jatuh juga, berleleran membanjiri wajahku.
“Aku… Aku…” ia terbata.
“Ken, aku menyu-“
“Ken??”
Secara misterius gadis itu hadir di sekitar kami, menghentikan lanju kalimatku. Aku menoleh, Nadine menyerahkan buku di tangannya pada Dirga. Pria berambut coklat itu menatapku datar, jakunnya naik turun.
“Ken, sedang apa di sini? Ayumi kamu kenapa? Apa yang terjadi denganmu?” Nadine memberondongku dengan banyak pertanyaan. Kedua mata birunya menatapku intens, menerka-nerka apa yang terjadi di antara aku dan Ken.
“Tidak, aku hanya kelilipan. Awal musim kemarau begini, banyak sekali debu beterbangan,” kilahku. Aku menghapus air mata di wajahku dengan kedua tanganku. Ah ya… tanganku sudah bersih, Ken tidak perlu lagi mengeluarkan sapu tangannya, apalagi saat ini ada gadis itu.
“Benarkah? Kalau begitu, Ken, ayo kita ke kelas,” ajak Nadine seraya menarik lengan Ken. Pria itu tersenyum mengiyakan, ia segera berbalik dan menyambut tangan Nadine, melengos pergi meninggalkanku dengan hati remuk.
Untuk sesaat aku tertegun, memandangi puluhan anak tangga yang terbentang di hadapanku, mereka seperti terkekeh-kekeh menertawaiku.
“Ayumi yang malang…” ejek mereka. Aku tersenyum getir. Lama kelamaan kurasakan pandanganku merabun. Air mata menyaput penglihatanku dengan cepat.
Ingin rasanya kuambil batu bata dan kutuliskan besar-besar “AKU SUKA KAMU” di atasnya, lalu kulempar ke wajah Ken agar ia tahu betapa sakitnya aku menyukainya. Tapi karena aku mengenal diriku terlalu baik, aku tahu, aku tak mungkin melakukan hal itu.
Tubuhku melorot, jatuh terduduk di tangga. Kedua tanganku refleks menangkupkan wajah, dan menangis sejadi-jadinya.
“Pluk!” Aku terdiam, seseorang menyentuh kepalaku! Buru-buru kubenamkan wajah di tangan, aku malu jika harus ketahuan dosen menangis di sini.
“Hei…”
 Suara ini… Aku kenal baik suara ini. Sedikit melengak, kulihat Dirga menampilkan senyum khasnya padaku. Ia menunduk, lalu berjongkok di hadapanku. Secepat kilat Dirga menarikku ke dalam pelukannya. Wangi parfumnya mendesak masuk rongga hidungku.
Kurasakan tubuhku kaku seketika begitu Dirga mencium puncak kepalaku.  Tangisku meredup, berganti dengan sesenggukan. Aku membenamkan wajahku pada dada bidangnya. Detak jantungnya terdengar tenang, berirama. Saat ini aku merasakan betapa besarnya tubuh Dirga, dan betapa kecilnya aku.
Diafragma Dirga naik, ia menarik napas panjang. Tak lama, ia mengurai pelukannya. Tangannya bergerak menyentuh wajahku, dengan gerakan yang amat pelan, kedua ibu jarinya menghapus air mata di pelupuk mataku.
“Aku tidak peduli wajahmu akan jerawatan atau tidak jika sentuh wajahmu dengan tanganku yang kotor ini. Aku lebih senang menggunakan tanganku sendiri agar aku tahu apa yang sebenarnya kau rasakan,” tuturnya lembut, diakhiri senyum yang bermain di kedua ujung bibirnya. Melihatnya tersenyum hatiku meringan, terbang entah kemana.
Dirga bangkit dari jongkoknya, lalu mengambil tempat di sampingku. Kaki jenjangnya menjulur ke bawah hingga lima anak tangga.
“Hei Ayumi, apa kamu tahu obatnya patah hati itu apa?”
“Tak tahu,” jawabku sekenanya.
“Obatnya patah hati, ya jatuh cinta lagi,” guraunya, ia terbahak. Tawa renyahnya mengudara sepanjang lorong. Ia menghela napas mengakhiri tawanya.
“Aku sudah lama menunggu saat ini, saat aku bisa duduk berdua denganmu, hanya berdua tanpa ada Ken di sekitarmu. Tadinya kupikir aku tak akan bisa bersamamu,” ia bertutur. Kepalanya berputar, menatap penuh wajahku. Ia kembali tersenyum.
“Suki dakara…”
Dalam hitungan sepersekian detik, ia mendekatkan wajahnya padaku, lalu mengecup keningku lembut.
 “Cubit aku…” gumamku. Kini giliran Dirga yang terperanjat. “Cubit aku,” pintaku lagi. Dirga mengedikkan bahu, lalu mencubit pipiku. Sakit.
“Dasar bodoh, ini bukan mimpi,” cibirnya. Aku terkekeh sambil menggaruk ujung rahangku.  Jadi, inikah jawaban Tuhan atas doaku semalam?
“Ayumi…” panggilnya pelan hampir tak terdengar. Kulirikkan ekor mataku, kedua belah matanya menatap kosong jari jemarinya yang saling mengait.
“Lulus nanti, kita menikah yuk,” ujarnya santai.
“Bercandamu keterlaluan Dirga, sama sekali tidak lucu,” aku mencebik, tak terima dengan gurauannya.
Dirga terkekeh, ia merogoh saku celananya. Tak lama sebuah kotak kecil berwarna merah menyala dengan sebuah cincin bertengger anggun di telapak tangannya. Astaga.
“Aku tak tahu kamu menyukaiku atau tidak, tapi aku berjanji, setelah kamu menikah denganku, kamu pasti akan menyukaiku, bahkan lebih dari suka.”
Aku menatapnya tak percaya. Jantungku kembali berdegup tak keruan begitu sebuah perasaan hangat mengaliri hatiku. Hei, aku baru saja jatuh cinta. Baru saja.
“Ayumi? Kamu baik-baik saja?” tanya Dirga terkejut. Tangan kirinya refleks menahan tubuhku yang hampir limbung. Dirga merapatkan tubuhnya denganku.
“Ma-maaf tadi aku…”
Aku mengamati sekelilingku, semua tamu undangan mengamati kami dengan cemas. Apalagi ibuku, ia menatapku dengan tatapan yang menegangkan perasaan. Pria di hadapan kami juga melakukan hal yang sama, kening penghulu itu berkerut.
“Kalau mempelai wanitanya sakit, kita bisa tunda ijab kabulnya, sampai benar-benar sehat,” sarannya.
Berkali-kali kutelan ludah untuk membasahi tenggorokanku yang mendadak kering. Seperti layar yang terkembang, masa lalu itu kembali terputar dalam ingatanku. Ken… Apa kabarnya dirimu? Apa undangan kami tak sampai ke tanganmu?
“Ayumi? Kamu sungguh baik-baik saja?”
Aku menoleh, “Ayo kita lanjutkan pernikahannya,” sahutku riang. Aku berdecak kagum, kali ini aku percaya, Tuhan tidak akan menyedihkanku jika Dia tidak menyiapkan rencana indah untukku.
Ë


Cerpen ini pernah diikutkan lomba menulis di salah satu penerbit Indie, alhamdulillah dapat juara III :D
that feel's based on true story :3

Comments

Popular posts from this blog

Review Buku Personality Plus karya Florence Littauer

Judul : Personality Plus Penulis : Florence Littauer Buku ini bagus. Kamu akan temukan ke-bagus-an buku ini setelah membaca dengan sabar semua penjabaran di dalamnya. Yang awalnya kamu akan berkata, “Saya orangnya kayak gimana sih?” dan akhirnya kamu bisa berkata, “Ternyata saya orang yang begini!” atau “Wah, ini saya banget!” Kenapa harus sabar? Karena buku ini super membosankan. Kalau dibandingkan dengan bukunya Mbak Monica Anggen yang judulnya “Jangan Kebanyakan Teori Deh!” atau “Yakin Selamanya Mau di Pojokan?” atau buku-buku seri pengembangan diri karya penulis Indonesia, buku ini gak ada apa-apanya. Isinya  full  tulisan, jangan harap ada ilustrasi sebagai pemanis di sini, ya kalaupun ada bagan, menurut saya sama sekali tidak menarik. Sebagai perbandingan, coba perhatikan dua foto di bawah ini ya.  Penampakan ilustrasi di buku YSMP-nya Monica Anggen Penampakan bagian dalam PP-nya Florence Littauer Mungkin karena ini buku...

Aplikasi Berbagai Model Pengembangan Sistem Instruksional

BAB I PENDAHULUAN A.                 LATAR BELAKANG Istilah pengembangan sistem instruksional ( instructional system design ) dan disain instruksional ( instructional design ) sering dianggap sama. “disain” berarti membuat sketsa atau pola atau outline atau rencana pendahuluan “mengembangkan” berarti membuat tumbuh secara teratur untuk menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih efektif, dan sebagainya. Berbagai macam model pengembangan pembelajaran dikembangkan dengan tujuan : 1.       Mudah dikomunikasikan kepada calon pemakai, baik guru maupun para pengelola pendidikan 2.       Memperlihatkan tugas-tugas utama yang harus dikerjakan untuk pengelolaan pembelajaran 3.       Memperlihatkan struktur semacam matrix antara tujuan belajar dan strategi belajar yang dapat dibandingkan anatar asatu dengan yang lainnya. ...

Pengalaman Ikut Kampus Fiksi DivaPress (Part 2)

Demi menjalankan prinsip, ‘Mandilah sebelum orang lain mandi’ saya bangun pukul 04.00 WIB pada 30 Januari 2016. Cuma bangun, matikan alarm, terus tidur lagi. Sungkan juga sepagi itu sudah mandi, kelihatan banget kalau saya ngincer urutan pertama mandi. Jika Choi Taek dalam Reply 1988 berkata bahwa salah satu bagian terbaik dalam hidupnya setelah berpacaran dengan Deok Sun adalah berhenti minum obat tidur. Maka bagian terbaik dalam hidup saya saat mengikuti Kampus Fiksi adalah perbaikan gizi. Dalam sehari, kami diberi makan 3 kali sehari. Sarapan pagi, makan siang dan makan malam. Tak lupa dengan snack , kopi, gula, teh, Indomie, telur, yang selalu tersedia. Enak betul, bukan? *sungkem sama Pak Edi* Adalah hal yang mengagumkan bagi saya begitu sadar saat jarum menunjukkan pukul 7 pagi dan semua teman KF15 sudah selesai mandi. Hal ini mematahkan pikiran negatif saya bahwa angkatan saya akan membuat antrean panjang di depan kamar mandi menjelang waktu makan pagi. Congrats Gengs! Sesi per...